SELAMAT DATANG DI SITUS YAYASAN ARRAFIIYAH - MEDIA SILATURAHMI, INFORMASI DAN KOMUNIKASI UNTUK MENGGAPAI RIDHO ILAHI

Sabtu, 14 Agustus 2010

SOLUSI MASALAH PENDIDIKAN ADA DI TANGAN ORANG TUA

Oleh H. Akbar
Ketua Yayasan Arrafiiyah

Kalau kita sedikit mempelajari sejarah serikat buruh di manca negara, kita bisa tahu bahwa demi kesejahteraan bersama, para pekerja bergabung dan menyatu di dalam sebuah serikat buruh.

Awalnya, mereka memang dilawan oleh pemerintah (dengan menggunakan polisi untuk memukuli mereka). Mereka juga dilawan oleh pemilik perusahaan, yang siap terima kerugian besar dengan menutup pabriknya, asal berhasil memecah-belahkan pekerja yang berprotes.

Di Inggris, ada sejarah mogok kerja satu kelompok yang berlangsung lebih dari 1 tahun lamanya. Para pekerja tidak mau kalah dan pemerintah/pengusaha juga tidak mau kalah.

Sejarah membuktikan bahwa walaupun menggunakan semua cara (polisi, ancaman hukum, pemerasan, ancaman fisik, sogokan, pemukulan, dll.) pemerintah pada akhir hari tetap kalah.

Kenapa?

Karena industri hanya ada selama ada pekerja. Tanpa pekerja, tidak ada industri. Yang namanya CEO atau direktur bukanlah orang yang membuat barang di pabrik. Sejarah serikat ini menunjukkan bahwa kalau suatu kaum benar2 kompak dan menuntut haknya, tanpa mundur, mereka insya Allah akan memang. Atau minimal bisa dikatakan mereka mempunyai kekuatan untuk bernegosiasi dengan pemerintah/pengusaha supaya mendapat hasil yang saling menguntungkan daripada menguntungkan satu pihak dan sangat merugikan yang lain.

Karena Indonesia belum melewati tahap perkembangan ini (satu bagian dari perkembangan demokrasi di manca negara), maka mayoritas dari pekerja di sini belum pernah bergabung dalam suatu serikat. Karena itu, orang tua biasa tidak punya konsep ini di dalam benak mereka. Mereka tidak berfikir untuk mogok. Mereka tidak berfikir untuk turun ke jalan dengan aksi damai dan menuntut haknya. (Sering dianggap tugas mahasiswa saja).

Menurut saya, hanya cara inilah yang paling mungkin memberikan hasil yang nyata dalam waktu dekat. Kalau menunggu partai politik yang bersih dan peduli mendapatkan kekuasaan di pemerintah, maka kita harus menunggu terlalu lama.

Bayangkan saja:

Senin depan, semua orang tua di seluruh Indonesia menolak bekerja/masuk kantor (selain fungsi umum yang penting/darurat – dokter, polisi, dll.) Semua pekerja biasa yang juga orang tua, dengan rukun, tetap di rumah dan tidak bekerja. Atau sekaligus, menghadiri demo rakyat 1 juta orang di semua jalan raya di semua kota.

Tututan orang tua hanya satu: pendidikan yang layak dari pemerintah untuk semua anak bangsa sekarang juga.

Kalau tuntutan tidak diterima, bulan depan orang tua janji mogok kerja lagi, tetapi untuk 3 hari, dan seterusnya. Kerugian negara bisa berapa untuk satu hari saja? Apakah mungkin pemerintah tidak takut dan abaikan aksi seperti ini? Saya yakin tidak mungkin.

Pengusaha pasti marah besar, dan mungkin juga ada sebagian orang yang dipecat, diancam akan dipecat, atau kena hukuman yang lain. Tetapi walaupun tingkat suksesnya hanya 60%, pemerintah pasti takut pada massa yang begitu kompak. Mereka pasti takut dilengserkan oleh rakyat yang menolak pemerintah. Ini yang terjadi pada Presiden Marcos di Filipina. Dia dijtatuhkan karena orang biasa turun ke jalan dan berdiri depan tentara. Mereka menolak Marcos karena inginkan perubahan. Ternyata, tentara ikut bersimpati pada mereka dan tidak bertindak. Akhirnya Marcos kabur ke luar negeri. (Kemarin di Myanmar aksi yang sama dimulai, tetapi tentara bertindak terhadap rakyat. Sayangnya, rakyat cepat kalah dan tidak mau teruskan perjuangannya.)

Dengan tindakan seperti ini, pemerintah akan sadar bahwa masyarakat TIDAK MENERIMA kelalaian mereka di bidang pendidikan. Tetapi masalah utama adalah masyarakat Indonesia belum berani untuk ambil tindakan seperti ini (berarti masih siap menerima kelalaian pemerintah). Di sini lebih banyak orang takut pada pemerintah daripada berani ambil risiko demi masa depan anak mereka dan semua anak bangsa sekaligus. Dan tindakan seperti ini hanya bisa berhasil kalau ada rasa perjuangan bersama, di mana semua orang tua saling peduli pada yang lain.

Saat ini, kalau anak tetangga putus sekolah, belum tentu kita peduli. Paling kita mengatakan sedih, dan tetap beli mobil baru, naik haji, bikin pesta pernikahan buat anak kita yang habiskan 200 juta, dan seterusnya. Belum ada rasa komunitas. Belum ada rasa “sama-sama punya anak, sama-sama peduli pada anak orang lain”.

Orang kaya peduli pada anak mereka saja. Mungkin orang miskin ingin mendapatkan kesempatan korupsi juga di kantor supaya anaknya bisa mendapatkan kesempatan yang sama dengan anaknya orang kaya. Tidak ada rasa komunitas. Tidak ada rasa saling peduli. Semua orang bertindak sendiri-sendiri, dan komplain sendiri-sendiri.

Kalau kita menjatuhkan beberapa tetes air mata di atas kepala pemerintah dan pejabat, kepala mereka menjadi sedikit basah dan cukup dilap dengan tisu. Lalu dilupakan. Kalau 100 juta orang tua menjatuhkan tetesan air mata mereka di atas kepala pemerintah pada saat yang sama, hasilnya adalah banjir raksasa. Mana mungkin diabaikan?

Orang tua harus bersatu dan menyusun strategi untuk melawan kebijakan pemerintah yang abaikan hak anak bangsa. Kalau tidak, tidak akan ada perubahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar